Thursday, December 4, 2008

Draft Cerpen. whaddayathink?

Mantra

Angin malam yang dingin setelah hujan dengan leluasa masuk ke gerbong keretaku, yang tak berjendela dan tak berpintu di akhir minggu ke-dua bulan Oktober, membuatku harus merubah posisi tanganku yang memegang erat tas backpack-ku yang penuh dengan buku tebal keluaran Blackwell publishers. Aku mulai menyilangkan tangan di atas dada, seolah-olah hal itu akan membuatku sedikit hangat.

Lebih dari lima ratus hari aku selalu terkena angin malam pada saat perjalanan pulang dan tak pernah terusik olehnya. Lebih dari lima ratus hari aku tak menghiraukan dingin yang menerpa kemeja yang kupakai dan duduk diam, seperti hari pertama masuk sekolah pada saat aku berusia enam tahun yang dengan seksama mendengarkan penjelasan Ibu atau Bapak Guru. Hening. Aku tidak pernah bicara dengan siapapun di atas kereta usang yang terseok-seok berjalan ketika membawa ratusan manusia di dalam dan di atasnya. Tapi Aku mendengarkan dengan seksama tiupan angin yang aku dengar dengan jelas dan mencoba menerjemahkannya kedalam puisi-puisi malam yang sendu dan sentimental.

Lebih dari lima ratus hari aku berbincang dengan angin dalam bahasa udara yang bergerak lebih lambat daripada angin pada siang hari. Dan aku tidak pernah menyilangkan tangan di atas dadaku untuk mencari kehangatan. Tidak, sebelum malam ini.

Kali ini aku tidak bisa menerjemahkan desiran angin menjadi puisi indah, yang aku rasakan adalah kedinginan yang amat sangat sehingga aku berpikir angin telah mengkhianatiku, menggunakan aku sebagai gradien barometris sehingga anginnya terasa lebih cepat dan dingin. Tidak, mungkin saja aku sedang demam. Tidak, bukan itu. Sekujur tubuhku dingin bukan karena angin malam dan demam, tapi karena aku merasa sendiri.

Lamunanku tentang angin dan kesendirianku menguap seperti embun pagi yang tersisa di atas daun mawar setelah pukul tujuh pagi ketika matahari mulai merangkak naik. Buyar karena lagu “Curhat Sahabat” yang ternyata berasal dari dalam tasku. Handphoneku berbunyi. Kau menelpon.

“Aku besok ke rumah. Kita bicara”

Kereta sudah tidak penuh tapi Aku tidak bisa bernapas selama beberapa detik setelah Kau menyelesaikan kalimatmu.

“Baiklah”

Susah payah Aku mengambil napas. Sungguh memalukan, seperti pasien Asma yang ditinggal sendiri oleh keluarganya. Aku kembali mendapatkan oksigen setelah terbata-bata mengulang apa yang Kau katakan. Besok Kau akan ke rumah. Kita akan bicara.

“Kita bicara” adalah mantra. Sakral untukku seperti yang terdapat dalam cinta suci pangeran yang membangunkan putri salju dari tidur panjangnya. kekuatan mantra yang lain bahkan dapat menjadi lebih dahsyat dari badai Tornado yang tak bisa diprediksi kapan datangnya, dapat meratakan bangunan beton pencakar langit yang telah didesain oleh para ahli dari Jepang dan Jerman dalam hitungan detik. Mantra manakah yang akan kau pilih.

Besok kita akan bicara.

Aku betul-betul merasa dingin. Dingin seperti lapisan salju yang tebal di hamparan tanah Alaska dimana langitnya dipenuhi oleh Aurora, pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh matahari. Aurora indah itu tak sebanding dengan dinginnya salju yang aku tapaki, meninggalkan jejak sejuta pertanyaan untuk esok.

Sebelum aku berhenti menapaki Alaska dalam khayalku, sebelum keretaku tiba di stasiun terakhir malam ini, ku meraba-raba jawaban untuk sejuta pertanyaan di hari esok yang bermantra.

“Aku mencintaimu.

Tapi aku telah kehilangan senyawa kimia yang membuatku tergila-gila padamu.

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku.

Aku tidak mau menyakitimu.

Aku tidak mau menyakiti diriku sendiri.

Aku tidak mau menyakiti siapapun.”

Dan Akupun telah tahu, mantra yang mana yang kau pilih.

2 comments:

~marviiilous said...

So...what happened after He came to your house??

novi said...

hahahahaha. it's a short story, sagittarius girl..